Oleh: Asy Syaikh Shalih Bin Fauzan Al Fauzan
Allah berfirman,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (٥)
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada orang-orang yang mengetahui” (Yunus:5)
Dan Dia juga berfirman ,
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (٣٧)
“Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) bersujud kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah” (Fushilat:37)
Shalat gerhana adalah sunnah muakadah menurut kesepakatan para ulama, dan dalilnya adalah As Sunnah yang tsabit dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.
Gerhana adalah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah untuk menakut-nakuti para hamba-Nya. Allah berfirman ,
وَمَا نُرْسِلُ بِالآيَاتِ إِلا تَخْوِيفًا (٥٩)
“Dan kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti” (Al Israa:59)
Ketika terjadi gerhana matahari di jaman Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau keluar dengan bergegas, menarik bajunya, lalu shalat dengan manusia, dan memberitakan kepada mereka: bahwa gerhana adalah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, dengan gerhana tersebut Allah menakut-nakuti para hamba-Nya; boleh jadi merupakan sebab turunnya adzab untuk manusia, dan memerintahkan untuk mengerjakan amalan yang bisa menghilangkannya. Beliau memerintahkan untuk mengerjakan sholat, berdo’a, istighfar, bersedekah, memerdekakan budak, dan amalan-amalan shalih lainnya ketika terjadi gerhana; hingga hilang musibah yang menimpa manusia.
Dalam gerhana terdapat peringatan bagi manusia dan ancaman bagi mereka agar kembali kepada Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya.
Mereka di zaman jahiliyyah meyakini bahwa gerhana terjadi ketika lahirnya atau matinya seorang pembesar. Maka Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam membantah keyakina tersebut dan menjelaskan tentang hikmah ilahiyyah pada terjadinya gerhana.
Al Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari hadits Abu Mas’ud Al Anshari berkata ,
“Terjadi gerhana matahari pada hari meninggalnya Ibrahim Bin Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam maka manusia mengatakan, “Terjadi gerhana matahari karena kematian Ibrahim”. Maka Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak terkena gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang, jika kalian melihat yang demikian itu, maka bersegeralah untuk ingat kepada Allah dang mengerjakan Sholat” “.[1]
Dalam hadits lain dalam Ash Shahihain, ,
“Maka berdoalah kepada Allah dan kerjakanlah Sholat hingga matahari terang”.[2]
Dari Shahih Al Bukhari dari Abu Musa, (artinya),
“Tanda-tanda yang Allah kirimkan ini bukanlah karena kematian atau kehidupan seseorang, tetapi Allah sedang manakut-nakuti hamba-hamba-Nya dengannya, maka jika kalian melihat sesuatu yang demikian itu, bersegeralah untuk mengingat Allah, berdo’a dan meminta ampun kepada-Nya”.[3]
Allah Subhanahu Wata’ala memberlakukan pada dua tanda kekuasaan-Nya yang besar ini (matahari dan bulan) kusuf dan khusuf (gerhana); agar para hamba mengambil pelajaran dan tahu bahwa keduanya adalah makhluk yang terkena kekurangan dan perubahan sebagaimana makhluk-makhluk lainnya; untuk menunjukkan kepada hamba-Nya dengan peritiwa itu atas kekuasaan-Nya yang sempurna dan hanya Dialah yang berhak untuk diibadahi sebagaimana firman Allah ,
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (٣٧)
“Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ilalah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) bersujud kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah” (Fushilat:37)
Waktu shalat gerhana: dari mulai terjadinya gerhana sampai hilang berdasar sabda beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam , “Apabila kalian melihat (artinya: sesuatu dari peristiwa tersebut), maka shalatlah”. (Mutafaqqun ‘Alaih) [4]
Dan dalam hadits lainnya , “Dan jika kalian melihat yang demikian itu maka sholatlah hingga matahari kelihatan”. (Diriwayatkan oleh Muslim) [5]
Shalat gerhana tidak diqadha setelah hilangnya gerhana tersebut, karena telah hilang waktunya. Jika gerhana telah hilang sebelum mereka mengetahuinya, maka mereka tidak perlu melakukan shalat gerhana.
CARA SHALAT GERHANA:
Mengerjakan shalat 2 raka’at dengan mengeraskan bacaan padanya, menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama, membaca pada rakaat pertama surat Al Fatihah dan surat yang panjang seperti surat Al Baqarah atau yang seukuran dengannya, kemudian ruku’ dengan ruku’ yang panjang, kemudian mengangkat kepalanya dan membaca:
“SAMI ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD”
Artinya, “Maha mendengar Allah terhadap orang yang memuji-Nya. Wahai Robb kami, bagi Engkaulah segala puji”
Setelah i’tidal, melakukan seperti shalat-shalat yang lainnya, kemudian membaca Al Fatihah dan surat yang lebih pendek dari yang pertama seukuran surat Ali ‘Imran, kemudian memanjangkan ruku’nya, lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian mengangkat kepalanya dan membaca,
” SAMI’ ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD, HAMDAN KATSIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI, MIL’AS SAMAA’I WA MIL’AL ARDH, WA MIL’A MA SYI’TA MIN SYAI’IN BA’DU”
Artinya,
“Maha mendengar Allah terhadap orang yang memuji-Nya. Wahai Robb kami,bagi Engkaulah segala puji dengan pujian yang banyak, baik dan penuh keberkahan padanya, sepenuh langit, sepenuh bumi dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki dari segala sesuatu sesudahnya”.
Kemudian sujud dua kali yang panjang dan tidak memperlama duduk diantara dua sujud, kemudian shalat untuk raka’at yang kedua seperti yang pertama dengan dua ruku’ dan dua sujud yang panjang, sebagaimana yang dikerjakan para raka’at yang pertama, kemudian tasyahud dan salam.
Inilah salat gerhana sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dan sebagaimana yang diriwayatkan dari beliau tentang hal itu melalaui beberapa jalan, sebagiannya di Ash Shahihain.
Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘Anha , “Matahari mengalami gerhana pada masa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, maka beliau berdiri, bertakbir, dan orang-orang berbaris dibelakang beliau. Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam membaca bacaan yang panjang lalu beliau ruku’ dengan ruku’ yang lama, kemudian mengangkat kepalanya dan mengucapkan, “SAMI’ ALLAAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANAA WA LAKA AL HAMDU”. Kemudian beliau berdiri dan membaca bacaan yang panjang lebih pendek dari bacaan yang pertama, lalu takbir dan ruku’ yang lama lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian mengucapkan, “SAMI’ ALLAAHU LIMAN HAMIDAH, ROBBANAA WA LAKA AL HAMDU”. Kemudian sujud. Lalu beliau mengerjakan yang seperti itu pada rakaat yang kedua hingga sempurna empat ruku’ dan empat sujud. Dan matahari kembali terlihat sebelum beliau selesai” (Muttafaqun ‘Alaih) [6]
Dan disunnahkan untuk shalat dengan berjama’ah berdasar perbuatan Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan Boleh untuk mengerjakan sendiri-sendiri, tetapi mengerjakannya dengan berjama’ah lebih utama.
Disunnahkan bagi imam untuk memberikan nasehat kepada manusia setelah shalat gerhana, mengingatkan mereka dari kelalaian dan kelengahan serta memerintahkan mereka untuk memperbanyak doa dan istighfar.
Dalam Ash Shahih dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha (artinya),
“Bahwa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah selesai shalat dan matahari telah nampak, lalu beliau berkhutbah di hadapan manusia, memuji Allah dan memuja-Nya, dan bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak terkena gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang, jika kalian melihat yang demikian itu, maka berdo’alah kepada Allah, bertakbir, mengerjakan shalat, dan bershadaqahlah…”.” [7]
Apabila shalat sudah selesai sebelum gerhana hilang, hendaknya mengingat dan berdo’a kepada Allah hingga gerhana tersebut hilang, dan tidak perlu mengulang shalat, seharusnya menyempurnakan shalat dan tidak menghentikannya; berdasar firman Allah ,
وَلا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ (٣٣)
“Dan janganlah kamu merusakkan amal-amalmu” (Muhammad:33)
Maka shalat dilakukan pada waktu terjadinya gerhana berdasar sabda beliau, “hingga gerhana itu hilang”, dan sabda beliau, “Hingga dihilangkan apa yang menimpa kalian”.[8]
Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Gerhana terkadang lama waktunya dan terkadang pendek, tergantung gerhananya. Terkadang tertutup semuanya (gerhana total), terkadang separuh atau sepertiganya. Jika yang tertutup besar; hendaknya memanjangkan shalat hingga membaca Al Baqarah dan yang semisalnya pada raka’at pertama dan setelah ruku’ yang kedua hendaknya membaca yang lebih pendek. Telah datang hadits-hadits shahih dari Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tentang apa yang kami sebutkan. Dan disyariatkan untuk mempercepat shalat jika telah hilang sebabnya. Begitu pula jika mengetahui bahwa gerhana tersebut tidak lama. Dan apabila gerhana tersebut menipis sebelum shalat, maka supaya memulai shalat dan memendekkannya, itulah pendapat jumhur Ahli Ilmu; karena shalat tersebut disyariatkan berdasarkan’illah (sebab), dan ‘illah itu telah hilang. Jika gerhana itu hilang sebelum shalat; maka tidak perlu shalat….”. [9]
FootNote:
[1] Dikeluarkan oleh AL Bukhari ( Nomer 1041, 1057, 3204) dan Muslim (Nomer 911).
[2] Muttafaq ‘Alaih dari hadits Al Mughirah Bin Syu’bah; Al Bukhari (1060) [2/705] ini adalah lafadznya; dan Muslim (2119) [2/457].
[3] Dikeluarkan oleh Al Bukhari (1059) [2/704] Al Kusuf 14; dan Muslim (912).
[4] Muttafaq ‘Alaih dari hadits Mughirah: Al Bukhari (1043) [2/679] Al Kusuf 1, ini adalah lafadznya; dan Muslim (2119) [3/457] Al Kusuf 5
[5] Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Jabir (2099) [3/447] Al Kusuf 5.
[6] Muttafaq ‘Alaih: Al Bukhari (1046) [2/688]; dan Muslim (2088) [3/440].
[7] Muttafaq ‘Alaih: Al Bukhari (1044) [2/682]; dan Muslim (2086) [3/438].
[8] Dikeluarkan oleh Al Bukhari (1063) [2/706] Al Kusuf 17. Dan asalnya adalah Muttafaq ‘Alaih dari hadits ABu Mas’ud Al Anshari: Al Bukhari (1041) [2/678] Al Kusuf 1; dan Muslim (2111) [3/453] Al Kusuf 5.
[9] Lihat “Majmu Fataawaa Syaikh Al Islam”
(Dinukil untuk blog indahnyabersyariah.blogspot.com dari www.ghuroba.blogsome.com. Sumber: Kitab Al Mulakhkhash Al Fiqhi, Edisi Indonesia: Ringkasan Fiqih Islami 1, Penerbit Pustaka Salafiyah)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar