Kamis, 29 September 2011

TATA CARA (KAIFIYAT) KEPENGURUSAN JENAZAH (Memandikan dan Mengkafani)

Disusun oleh : Iqbal Fahri (Abu Akif)

A.KEUTAMAAN MENGURUS JENAZAH
Rasulallah Shallallaahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa memandikan (jenazah) seorang muslim seraya menyembunyikan(aib)nya dengan baik, maka Allah akan memberikan ampunan empat puluh kalikepadanya. Barangsiapa membuatkan lubang untuknya lalumenutupinya, maka akandiberlakukannya pahala sepertipahala orang yang memberikan tempat tinggal
kepadanya sampai hari kiamat kelak. Barangsiapa mengkafaninya, niscaya Allah
akan memakaikannya sundus (pakaian dari kain sutera tipis) dan istabraq
(pakaian sutera tebal) Surga di hari kiamat kelak.”
(HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi. Al-Hakim berkata; Shahih dengan syarat Muslim.
Dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)

B.PIHAK YANG BERHAK MENGURUSI JENAZAH
Hendaknya yang mengurusi jenazah adalah orang yang lebih mengetahui sunnahnya
dengan tingkatan sebagai berikut;
1.Jenazah laki-laki diurusi oleh orang yang telah ditunjuk oleh si mayit sendiri sebelum wafatnya (berdasarkan wasiatnya). Kemudian Bapaknya, lalu anak laki-lakinya, kemudian keluarga terdekat si mayit.
2.Jenazah wanita diurusi oleh orang yang telah ditunjuk oleh si mayit sendiri sebelum wafatnya (berdasarkan wasiatnya). Kemudian Ibunya, kemudian anak wanitanya,kemudian keluarga terdekat si mayit.
3.Suami diperbolehkan mengurusi jenazah istrinya, begitu pula sebaliknya.
4.Adapun jenazah anak yang belum baligh dapat diurusi oleh kaum laki-laki atau
perempuan karena tidak ada batasan aurat bagi mereka.
5.Apabila seorang lelaki wafat di antara kaum wanita (tanpa ada seorang lelaki muslim pun bersama mereka dan tanpa ada istrinya atau ibunya) demikian pula sebaliknya maka cukup ditayamumkan saja.
6.Seorang muslim tidak diperbolehkan mengurusi jenazah orang kafir(QS. At-
Taubah ; 84)


C.ALAT DAN BAHAN YANG DIPERLUKAN
1.Gunting, untuk menggunting pakaian si mayit sebelum dimandikan.
2.Sarung tangan bagi petugas yang memandikan mayit.
3.Sabut penggosok (spons).
4.Alat penumbuk dan cawan besar untuk menghaluskan kapur barus
5.Perlak plastik atau sejenisnya.
6.Sidr (perasan daun bidara), bila sulit didapatkan boleh menggantinya dengan
shampoo dan sabun.
7. Kapur barus.
8.Masker bagi petugas.
9. Kapas.
10.Air.
11.Minyak wangi kesturi.
12.Plester perekat.
13.Gunting kuku dan rambut.
14.Handuk atau sejenisnya
15.Sisir
16.Kain kafan; dua lembar berwarna putih bersih dan satu kain putih bergaris
(hibar ah)
atau tiga lembar seluruhnya berwarna putih bersih bagi laki-laki.

D.TATA CARA MEMANDIKAN JENAZAH
1.Menutup aurat si mayit ketika memandikannya. Melepas pakaiannya (dengan
menggunakan gunting) serta menutupinya dari pandangan orang banyak.
2.Hendaknya melemaskan persendian si mayit, memotong kumisnya, kukunya dan bulu ketiaknya jika kebetulan panjang. Sedangkan bulu kemaluan tidak boleh dipotong karena termasuk aurat yang vital.
3.Mengangkat kepalanya sampai seolah-olah dalam posisi duduk, lalu mengurutperutnya dengan perlahan untuk mengeluarkan kotoran yang masih tersisa dalam perutnya. Hendaklah memperbanyak siraman air untuk membersihkan kotoran yang keluar.
4.Petugas menggunakan sarung tangan untuk membersihkan jasad si mayit(membersihkan qubul dan dubur si mayit) tanpa harus melihat atau menyentuh langsung auratnya. Dianjurkan air yang dipakai adalah air yang sejuk, kecuali bila dibutuhkan air panas untuk menghilangkan kotoran yang melekat di jasad si mayit.Namun jangan mengerik atau menggosok mayit dengan keras.
5.Kemudian mengucapkan basmalah dan mewudhu’kan si mayit sebagaimana wudhu untuk shalat. Namun tidak perlu memasukkan air ke dalam hidung dan mulut simayit, tapi cukup dengan memasukkan jari yang telah dibungkus dengan kain yang dibasahi diantara bibir si mayit lalu menggosok giginya dan kedua lubang hidung sampai bersih.
6.Setelah mewudhukan dianjurkan untuk mencuci rambut dan janggutnya dengan busa perasan daun bidara. Bagi jenazah wanita, bila rambutnya dikepang diurai terlebih dahulu baru dicucikan rambutnya.
7.Setelah itu membasuh anggota badan sebelah kanan si mayit dari bagian depan dilanjutkan ke bagian belakang dengan cara memiringkan si mayit ke sebelah kiri petugas. Demikian pula anggota badan sebelah kiri. Jumlah siraman dengan bilangan yang ganjil sampai dianggap bersih. Hendaknya memandikan dengan menggunakan perasan daun bidara setiap kali siraman atau sabun.
8. Setiap kali membasuh bagian perut si mayit, keluar kotoran dari perutnya,
hendaknya langsung dibersihkan.
9.Dianjurkan siraman terakhir dengan menggunakan kapur barus.
10.Setelah selesai memandikannya hendaknya mengeringkan dengan handuk atau
sejenisnya.
11.Dianjurkan menyisir rambut si mayit. Adapun jenzah wanita, rambutnya dikepang
tiga dan diletakkan ke belakang punggungnya.
12. Apabila masih keluar kotoran setelah dimandikan, hendaklah menutup kemaluannya dengan kapas, kemudian mencuci kembali anggota yang terkena najis lalu si mayit diwudhukan kembali.
13.Janin yang gugur, bila telah mencapai empat bulan jenazahnya hendaklah
dimandikan, dikafani, dishalatkan dan diberi nama.
14. Bila tidak terdapat air, si mayit cukup ditayamumkan saja.

E.TATA CARA MENGKAFANI JENAZAH
1.Tiga kain kafan dibentangkan dan disusun tiga lapis. Kain kafan yang langsung bersentuhan dengan jenazah terlebih dahulu diberikan wewangian. Kemudianmeletakkan si mayit di atas kain kafan dalam posisi terlentang. Lalu letakkan kapasyang telah dibubuhi wewangian pada selangkangan si mayit atau pada lipatan tubuhyang lain.
2.Hendaklah menyediakan kain yang telah dibubuhi kapas untuk menutup aurat si
mayit dengan melilitkannya (seperti melilit popok bayi).
3.Hendaklah membubuhi wewangian pada lekuk-lekuk wajah si mayit seperti duamata, lubang hidung, bibir, kedua telinga dan ketujuh anggota sujudnya. Dandibolehkan juga membubuhi seluruh anggota badannya dengan wewangian.
4.Lembaran pertama kain kafan dilipat dari sebelah kanan, baru yang sebelah kirisambil mengambil handuk penutup auratnya. Menyusul lembaran kedua dan ketiga.Wewangian juga dibubuhkan di sela-sela ketiga kain kafan tersebut dan bagiankepala si mayit.
5.lalu gulunglah sisa kain kafan pada ujung kepala dan kakinya agar tidak lepasikatannya. Kemudian lipat ke arah kaki dan kepalanya. Jumlah sisa kain kafansebelah atas lebih banyak daripada sisa kain kafan di bagian bawah. Lalu ikatlahdengan tujuh utas tali (tali diikatkan di; atas kepala, leher, dada, perut, paha, betis,dan setelah kaki). Dibolehkan juga pengikatan kurang dari tujuh utas tali, sebabmaksud pengikatan agar kain kafan tersebut tidak lepas (terbuka).
      6.Jenazah wanita dikafani dengan lima helai kain; kain sarung untuk menutupi bagianbawahnya, baju kurung (yang terbuka sisi kanan dan kirinya), kerudung untukmenutupi kepalanya, serta dua helai kain kafan yang digunakan untuk menutupisekujur tubuhnya.

F.KETENTUAN MANDI BAGI YANG MEMANDIKAN JENAZAH dan
BERWUDHU BAGI YANG MENANDU KERANDA JENAZAH
Disunnahkan bagi orang yang telah memandikan jenazah untuk mandi. Rasulallah
Shallallaahu ’Alaihi Wa Sallambersabda;
”Barangsiapa telah selesai memandikan jenazah, hendaklah iamandi; dan
barangsiapa yangmengangkatnya hendaklah iaberw udhu.”
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dari Abu Hurairah RA. At-tirmidzi menilainya
sebagai hadits hasan).
  
G. MARAJI
1.Al-Albani, Syaikh Muhammad Nashiruddin, Hukum dan Tata Cara Mengurus
Jenazah Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Bogor: Pustaka Imam As-Syafi’i,
2005.
2.Al-Maktab At-Ta’awuni Li Ad-da’wah Al-Irsyad wa Tau’iyah Al-Jaliat Fi
Sulthanah,
 Cara Mudah Mengurus Jenazah, Jakarta: Pustaka At-Tazkia, April
2006.
3.Al-Jibrin, Abdullah bin Abdurrahman, Tuntutan Shalat dan Mengurus Jenazah,
Solo: Penerbit At-Tibyan, 2002.
4.As-Sayyid Salim, Abu Malik Kamal, Shahih Fiqih Sunnah, Jakarta: Pustaka At-
Tazkia, 2006.
5.Al-Asqalani, Imam Ibnu Hajar, Fathul Baari, Jakarta: Pustaka Azzam, Nopember
2006
Lanjut Bacanya - TATA CARA (KAIFIYAT) KEPENGURUSAN JENAZAH (Memandikan dan Mengkafani)

Sabtu, 24 September 2011

Pedoman Khutbah Jum'at

Khutbah Jum’at merupakan salah satu media yang strategis untuk dakwah Islam, karena ia bersifat rutin dan wajib dihadiri oleh kaum muslimin secara berjamaah. Sayangnya, media ini terkadang kurang dimanfaatkan secara optimal. Para khathib seringkali menyampaikan khutbah yang membosankan yang berputar-putar dan itu-itu saja. Akibatnya, banyak para hadirin yang terkantuk-kantuk dan bahkan tertidur. Bahkan, ada satu anekdot yang menyebutkan, khutbah Jum’at adalah obat yang cukup mujarab untuk insomnia, penyakit sulit tidur. Maksudnya, kalau Anda terkena penyakit itu, hadirilah khutbah Jum’at, niscaya Anda akan dapat tertidur nyenyak!

Di samping itu, para khathib itu juga tak jarang menyampaikan khutbah dengan cara yang kurang sesuai dengan adab khutbah Jum’at yang seharusnya. Misalnya, mereka berkhutbah dengan suara yang lemah lembut. Mungkin dianggapnya itu adalah cara yang penuh “hikmah” dan lebih cocok dengan karakter orang Indonesia yang konon ramah tamah, mencintai harmonisasi kehidupan, serta suka kedamaian dan kelembutan (?). Tentu akibatnya lebih fatal. Sudah materinya membosankan, penyampaiannya malah bikin orang terlena di alam mimpi. Padahal menurut contoh Nabi SAW, beliau berkhutbah secara bersemangat dengan kata-kata yang terucap secara keras dan tegas. Jika para khathib menggunakan cara penyampaian yang diteladankan Nabi ini, dengan materi yang aktual, hangat, dan dinamis, niscaya para hadirin akan bergairah dan penuh semangat, tidak lesu dan mengantuk seperti yang sering kita lihat.
Karena itu, kita harus mempelajari kembali adab-adab khutbah Jumat sebagaimana yang ada dalam tuntunan Syariah Islam yang mulia. Tujuannya adalah agar para khathib dapat menjalankan khutbah Jum’at dengan sebaik-baiknya dan agar khutbah yang disampaikan dapat turut memberikan kontribusi yang lebih positif bagi dinamika dakwah Islam.
Adab Khutbah Jum’at

Adab khutbah Jum’at dapat diartikan sebagai sekumpulan tatacara khutbah Jum’at, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan hal-hal yang disunnahkan padanya1.
Dengan pengertian tersebut, maka adab-adab khutbah Jum’at di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Disyaratkan bagi khatib pada kedua khutbah untuk berdiri (bagi yang kuasa), dengan sekali duduk di antara keduanya2. Kedua khutbah itu merupakan syarat sah jum’atan, demikian menurut seluruh imam madzhab3. Menurut Imam Asy Syafi’i, berdiri dalam dua khutbah dan duduk di antara keduanya adalah wajib4. Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, “Bahwa Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum’at dengan berdiri, lalu duduk, lalu berdiri (untuk berkhutbah lagi) seperti yang dikerjakan orang-orang hari ini.” (HR. Jamaah)5.
2. Disunnahkan bagi khatib untuk memberi salam ketika masuk masjid dan ketika naik mimbar sebelum khutbah. Ibnu Umar RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW jika masuk masjid pada hari Jum’at memberi salam pada orang-orang yang duduk di sisi mimbar dan jika telah naik mimbar beliau menghadap hadirin dan mengucapkan salam. (HR. Ath Thabrani)6
3. Kedua khutbah wajib memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Rukun-rukun khutbah dalam madzhab Syafi’i ada 5 (lima) : (1) Membaca hamdalah pada kedua khutbah, (2) Membaca shalawat Nabi pada kedua khutbah, (3) Wasiat taqwa pada kedua khutbah (meski tidak harus dengan kata “taqwa”, misalnya dengan kata Athiullah/taatilah kepada Allah), (4) Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu khutbah (pada khutbah pertama lebih utama), (5) Membaca do’a untuk kaum muslimin khusus pada khutbah kedua.7
Adapun syarat-syaratnya ada 6 (enam) perkara : (1) Kedua khutbah dilaksanakan mendahului shalat Jum’at, (2) Diawali dengan niat, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, niat bukan syarat sah khutbah, (3) Khutbah disampaikan dalam bahasa Arab. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa bagi kaum berbangsa Arab, rukun-rukun khutbah wajib berbahasa Arab, sedang selain rukun tidak disyaratkan demikian. Adapun bagi kaum ‘ajam (bukan Arab), pelaksanaan rukun-rukun khutbah tidak disyaratkan secara mutlak dengan bahasa Arab, kecuali pada bacaan ayat Al Qur’an8, (4) Kedua khutbah dilaksanakan pada waktunya (setelah tergelincir matahari). Jika dilaksanakan sebelum waktunya, lalu dilaksanakan shalat Jum’at pada waktunya, maka khutbahnya tidak sah, (5) Khatib disyaratkan mengeraskan suaranya pada kedua khutbah. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa rukun-rukun khutbah, khatib disyaratkan mengeraskan suaranya, (6) Antara khutbah dan shalat Jum’at tidak boleh berselang waktu lama9.
4. Disunnahkan bagi khatib untuk berkhutbah di atas mimbar, sebab Nabi SAW dahulu berkhutbah di atas mimbar10.
5. Disunnahkan bagi khatib untuk duduk pada anak tangga mimbar yang paling atas, sebab Nabi SAW telah mengerjakan yang demikian itu11.
6. Disunnahkan bagi khatib untuk mengeraskan suaranya pada khutbahnya (selain rukun-rukun khutbah)12. Diriwayatkan dari Jabir RA, bahwa jika Rasulullah berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya keras, dan nampak sangat marah, sampai beliau seperti orang yang sedang menghasungkan pasukan (untuk berperang) (HR. Muslim dan Ibnu Majah)13.
7. Disunnahkan bagi khatib untuk bersandar / berpegangan pada tongkat atau busur panah14. Ini sesuai riwayat Al Hakam bin Hazan RA yang mengatakan bahwa dia melihat Rasulullah SAW berkhutbah seraya bersandar pada busur panah atau tongkat (HR. Ahmad dan Abu Dawud)15.
8. Disunnahkan bagi khatib untuk memendekkan khutbahnya (tidak berpanjang-panjang atau bertele-tele)16. Diriwayatkan dari Amar bin Yasir RA, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya lamanya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, adalah pertanda kepahamannya (dalam urusan agama). Maka panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah !” (HR. Ahmad dan Muslim)
9. Dibolehkan bagi khatib untuk memberi isyarat dengan telunjuknya pada saat berdoa mengingat Rasulullah pernah mengerjakannya. Demikian menurut Imam Asy Syaukani18.
10. Kedua khutbah wajib memperbincangkan salah satu urusan kaum muslimin 19, yakni peristiwa atau kejadian yang sedang terjadi di kalangan kaum muslim dalam berbagai aspeknya. Hal ini mengingat Rasulullah SAW dan para khalifahnya dahulu –yang senantiasa menjadi khatib– sesungguhnya berkedudukan sebagai pemimpin politik (Al Qaid As Siyasi) bagi kaum muslimin.
Maka dari itu, perkara khatib saat ini pun seharusnya juga mengaitkan khutbahnya dengan realitas atau problem kontemporer yang ada di kalangan kaum muslimin, dan tidak sekedar mengulang-ulang khutbah yang kurang memberi kesadaran bagi hadirin, dengan tema yang itu-itu saja yang tentu akan membuat hadirin jemu, mengantuk, atau bahkan tertidur. Wallahu a’lam.
Lanjut Bacanya - Pedoman Khutbah Jum'at

TATA CARA SHALAT JUM'AT / RUKUN SHALAT JUM'AT




1. Khatib naik ke atas mimbar setelah tergelincirnya matahari (waktu dzuhur), kemudian memberi salam dan duduk.
2. Muadzin mengumandangkan adzan sebagaimana halnya adzan dzuhur.
3. Khutbah pertama: Khatib berdiri untuk melaksanakan khutbah yang dimulai dengan hamdalah dan pujian kepada Allah SWT serta membaca shalawat kepada Rasulullah SAW. Kemudian memberikan nasehat kepada para jama’ah, mengingatkan mereka dengan suara yang lantang, menyampaikan perintah dan larangan Allah SWT dan RasulNya, mendorong mereka untuk berbuat kebajikan serta menakut-nakuti mereka dari berbuat keburukan, dan mengingatkan mereka dengan janji-janji kebaikan serta ancaman-ancaman Allah Subhannahu wa Ta’ala. Kemudian duduk sebentar
4. Khutbah kedua: Khatib memulai khutbahnya yang kedua dengan hamdalah dan pujian kepadaNya. Kemudian melanjutkan khutbahnya dengan pelaksanaan yang sama dengan khutbah pertama sampai selesai
5. Khatib kemudian turun dari mimbar. Selanjutnya muadzin melaksanakan iqamat untuk melaksanakan shalat. Kemudian memimpin shalat berjama’ah dua rakaat dengan mengeraskan bacaan.
Adapun rukun khutbah Jumat paling tidak ada lima perkara.
1. Rukun Pertama: Hamdalah

Khutbah jumat itu wajib dimulai dengan hamdalah. Yaitu lafaz yang memuji Allah SWT. Misalnya lafaz alhamdulillah, atau innalhamda lillah, atau ahmadullah. Pendeknya, minimal ada kata alhamd dan lafaz Allah, baik di khutbah pertama atau khutbah kedua.
Contoh bacaan:

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا و مِنْ َسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
Innal hamdalillahi nahmaduhu wa nasta’iinuhu wa nastaghfiruhu wa na’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa wa min sayyiaati a’maalinaa mayyahdihillaahu falaa mudhillalahu wa mayyudhlilfalaa haadiyalahu
2. Rukun Kedua: Shalawat kepada Nabi SAW
Shalawat kepada nabi Muhammad SAW harus dilafadzkan dengan jelas, paling tidak ada kata shalawat. Misalnyaushalli ‘ala Muhammad, atau as-shalatu ‘ala Muhammad, atau ana mushallai ala Muhammad.
Contoh bacaan:

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
Allahumma sholli wa sallam ‘alaa muhammadin wa ‘alaa alihii wa ash haabihi wa man tabi’ahum bi ihsaani ilaa yaumiddiin.
3. Rukun Ketiga: Washiyat untuk Taqwa
Yang dimaksud dengan washiyat ini adalah perintah atau ajakan atau anjuran untuk bertakwa atau takut kepada Allah SWT. Dan menurut Az-Zayadi, washiyat ini adalah perintah untuk mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sedangkan menurut Ibnu Hajar, cukup dengan ajakan untuk mengerjakan perintah Allah. Sedangkan menurut Ar-Ramli, washiyat itu harus berbentuk seruan kepada ketaatan kepada Allah.
Lafadznya sendiri bisa lebih bebas. Misalnya dalam bentuk kalimat: “takutlah kalian kepada Allah”. Atau kalimat:“marilah kita bertaqwa dan menjadi hamba yang taat”.
Contoh bacaan:

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
yaa ayyuhalladziina aamanuu ittaqullaaha haqqa tuqaatihi wa laa tamuutunna ilaa wa antum muslimuun
Ketiga rukun di atas harus terdapat dalam kedua khutbah Jumat itu.
4. Rukun Keempat: Membaca ayat Al-Quran pada salah satunya
Minimal satu kalimat dari ayat Al-Quran yang mengandung makna lengkap. Bukan sekedar potongan yang belum lengkap pengertiannya. Maka tidak dikatakan sebagai pembacaan Al-Quran bila sekedar mengucapkan lafadz:“tsumma nazhar”.
Tentang tema ayatnya bebas saja, tidak ada ketentuan harus ayat tentang perintah atau larangan atau hukum. Boleh juga ayat Quran tentang kisah umat terdahulu dan lainnya.
Contoh bacaan:

فَاسْتبَقُِوا اْلخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونوُا يَأْتِ بِكُمُ اللهُ جَمِيعًا إِنَّ اللهَ عَلىَ كُلِّ شَئٍ قَدِيرٌ
Fastabiqul khairooti ayna maa takuunuu ya’ tinikumullahu jamii’an innallaaha ‘alaa kulli syaiin qodiiru (QS. Al-Baqarah, 2 : 148)

أَمّا بَعْدُ
ammaa ba’du..
Selanjutnya berwasiat untuk diri sendiri dan jamaah agar selalu dan meningkatkan taqwa kepada Allah SWT, lalu mulai berkhutbah sesuai topiknya.
Memanggil jamaah bisa dengan panggilan ayyuhal muslimun, atau ma’asyiral muslimin rahimakumullah, atau “sidang jum’at yang dirahmati Allah”.
……. isi khutbah pertama ………
Setelah di itu menutup khutbah pertama dengan do’a untuk seluruh kaum muslimin dan muslimat.
Contoh bacaan:

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
barakallahu lii wa lakum fill qur’aanil azhiim wa nafa’nii wa iyyaakum bima fiihi minal aayaati wa dzikril hakiim. Aquulu qowlii hadzaa wa astaghfirullaaha lii wa lakum wa lisaa iril muslimiina min kulli danbin fastaghfiruuhu innahu huwal ghafuurur rahiimu.
Lalu duduk sebentar untuk memberi kesempatan jamaah jum’at untuk beristighfar dan membaca shalawat secara perlahan.
Setelah itu, khatib kembali naik mimbar untuk memulai khutbah kedua. Dilakukan dengan diawali dengan bacaaanhamdallah dan diikuti dengan shalawat.
Contoh bacaan:

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَلِيُّ الصَّالِحِينَ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا خَاتَمُ الأَنْْْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ., أَمَّابعد,
Innal hamdalillahi robbal’aalamiin wa asyhadu an laa ilaaha illahllaahu wa liyyash shalihiina wa asyhadu anna muhammadan khaatamul anbiyaai wal mursaliina allahumma shalli ‘alaa muhammadan wa ‘alaa aali muhammadin kamaa shollayta ‘alaa ibroohiima wa ‘alaa alii ibroohiim, innaka hamiidum majiid.Wa barok ‘alaa muhammadin wa ‘alaa aali muhammadin kamaa baarokta ‘alaa ibroohiima wa ‘alaa alii ibroohiim, innaka hamiidum majiid.
Ammaa ba’ad..
Selanjutnya di isi dengan khutbah baik berupa ringkasan, maupun hal-hal terkait dengan tema/isi khutbah pada khutbah pertama yang berupa washiyat taqwa.
……. isi khutbah kedua ………
5. Rukun Kelima: Doa untuk umat Islam di khutbah kedua
Pada bagian akhir, khatib harus mengucapkan lafaz yang doa yang intinya meminta kepada Allah kebaikan untuk umat Islam. Misalnya kalimat: Allahummaghfir lil muslimin wal muslimat . Atau kalimat Allahumma ajirna minannar .
Contoh bacaan do’a penutup:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ.
رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلََى اّلذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. والحمد لله رب العالمين.
Allahummagh fir lilmuslimiina wal muslimaati, wal mu’miniina wal mu’minaatil ahyaa’I minhum wal amwaati, innaka samii’un qoriibun muhiibud da’waati.
Robbanaa laa tuaakhidznaa in nasiinaa aw akhtho’naa. Robbanaa walaa tahmil ‘alaynaa ishron kamaa halamtahuu ‘alalladziina min qoblinaa.Robbana walaa tuhammilnaa maa laa thooqotalanaa bihi, wa’fua ‘annaa wagh fir lanaa war hamnaa anta maw laanaa fanshurnaa ‘alal qowmil kaafiriina.
Robbana ‘aatinaa fiddunyaa hasanah wa fil aakhiroti hasanah wa qinaa ‘adzaabannaar. Walhamdulillaahi robbil ‘aalamiin.
Selanjutnya khatib turun dari mimbar yang langsung diikuti dengan iqamat untuk memulai shalat jum’at. Shalat jum’at dapat dilakukan dengan membaca surat al a’laa dan al ghasyiyyah, atau surat bisa juga surat al jum’ahal kahfi atau yang lainnya.
Demikian bacaan khutbah semoga bermanfaat bagi kita semua.
Lanjut Bacanya - TATA CARA SHALAT JUM'AT / RUKUN SHALAT JUM'AT