Kamis, 31 Maret 2011

Untukmu (calon) Suamiku...




Oleh Aisyah

Bismillah....

Wahai seseorang yang telah tertulis dalam lauhul mahfudz-ku, imamku dan ayah dari anak-anakku, engkau yang membersamai perjalananku nanti...

Apakah yang sedang kau lakukan di sana?

Aku percaya kau sedang memperbaiki dirimu, memantaskan dirimu tuk menjadi imam bagi tulang rusukmu dan buah hatimu kelak...

Aku percaya kau sedang menempa dirimu dalam beribu cobaan dengan menelantarkan dirimu sendiri pada medan dakwah dan problematika ummat... mencampakkan jauh egomu, membaktikan dirimu tuk ummat...

Aku percaya kau sedang mengkaji, kau sedang belajar, belajar ilmu dunia terutama ilmu akhirat, yang akan kau gunakan dalam mendidikku dan buah hati kita nanti...

Aku percaya Quran selalu ada dalam hatimu, selalu terucap dari bibirmu dan dzikir slalu melantun menemani langkah jihadmu...

Aku percaya kau sedang menundukkan pandanganmu, menjaga hatimu dan mencampakkan hawa nafsumu...

Aku percaya kau sudah merancang hidupmu, hidup kita, keluarga kita, nantinya juga untuk dakwah, untuk ummat, dan hanya karnaNya...

Aku percaya,kau sedang memantaskan diri dan terus memperbaiki diri dsana, di belahan bumi manapun kau berada...

Aku pun begitu sayang...

Aku sedang belajar... belajar menempa diri, menjauhkan egoku demi ummat, membaktikan diriku untuk orang lain, agar baktiku padamu pun sempurna...

Aku sedang belajar, meniti dakwahku, meniti cita-cita duniaku, meniti cita-cita akhiratku, agar kelak keluarga islami dan kluarga Qur’ani yang aq inginkan nanti dapat kubangun bersamamu... karna kau tahu? meskipun kau imamku, ibu adalah madrasah pertama bagi mujahidah kecilnya nanti...

Aku sedang belajar menjaga diri, menjaga pandangan dan hatiku, agar ketika kau memiliki hati ini, hati ini masih utuh sempurna hanya untukmu...

Aku sedang menempa diri, untuk menjadi seorang Khadijah untukmu, yang menjadi tempatmu membagi resah... seseorang yang kau datang padanya, saat kau tak tahu lagi akan datang pada siapa... seseorang yang menguatkanmu dan menggenggam slalu tanganmu dalam perjalanan jihadmu...

Akupun ingin menjadi ‘Aisyahmu, seorang yang membuatmu tersenyum dan kembali ceria saat penatmu mulai datang, seorang yang menyerap ilmu darimu dengan sempurna dan membenarkan apa-apa yang salah dalam lakumu, seseorang yang mencintaimu dengan cemburunya, namun kau rasakan sakitnya,saat ia tersakiti, hingga kau katakan pada yang lain “janganlah kau sakiti aku dengan cara menyakti ‘Aisyah”...

Aku ingin mejadi Fatimah, yang tak kau bagi cintamu pada yang lain.. bukan karna aku tak percaya kau tidak dapat berlaku adil, tapi karna aku ingin mencintaimu dengan sempurna, tanpa diganggu oleh cemburuku, itu saja...

Tak kalah lagi, aku ingin menjadi seperti ibunda hajar, yang tak gentar saat kau tinggalkan di padang pasir tandus dengan seorang bayi mungil dipelukan.. tak takut akan kehilanganmu, karna keyakinanku pada Rabbku lebih besar daripada yakinku padamu... cintaku padamu, tak akan mengalahkan cintaku pada Rabbku...

Usahaku ini tidak mudah sayang, begitupun usahamu...kuyakin itu...

Maka tetaplah dalam jihadmu..tetaplah dalam usahamu...tetaplah dalam ikhiarmu... aku yakin kau kuat disana, dan doakanlah agar akupun kuat dsni dalam jihad dan ikhtiarku...bawalah aku dalam tiap doa dan sujudmu, kumohon... karna doa yang dapat menolongku...

Hingga saatnya, kita bertemu dalam ikatan suci menyempurnakan separuh dien... dan kita akan melanjutkan jihad kita bersama...

dan nanti..terimalah aku apa adanya jika aku belum bsa mejadi khadijahmu, ‘aisyahmu atau bahkan menjadi seperti ibunda hajar... tapi bimbinglah aku menjadi seperti mereka... dan kita bimbing bersama mujahid muda kita nanti tuk melanjutkan estafet perjuangan dakwah ini...

Teruntukmu yang ada disana, kuatlah...dan bersabarlah...

Bawalah aku dalam doa dan sujudmu, agar cinta kita nanti, hanya karnaNya...aamiin...
Lanjut Bacanya - Untukmu (calon) Suamiku...

MEMISAH SHALAT RAWATIB DAN SHALAT WAJIB




Oleh: Ust A Hakim Mujaddidi S.Ag.



Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Shalat rawatib seperti telah kita pahami bersama adalah shalat yang mengiringi shalat fardhu. Namun ada suatu aturan yang mesti diperhatikan tatkala seseorang ingin melaksanakan shalat yang utama tersebut. Aturan ini dijelaskan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu hendaknya seseorang memisah antara shalat rawatib dan shalat wajib dengan perkataan atau perbuatan lainnya. Berikut keterangannya.

Pembicaraan dalam Hadits

Berdasarkan hadits As Saa-ib bin Yazid bahwa Mu’awiyyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepadanya,  “Apabila engkau telah shalat Jum’at, janganlah engkau sambung dengan shalat lain sebelum engkau berbicara atau pindah dari tempat shalat. Demikianlah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan pada kami. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ

Janganlah menyambung satu shalat dengan shalat yang lain, sebelum kita berbicara atau pindah dari tempat shalat

Ash Shan’ani rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya memisah antara shalat sunnah dan shalat wajib, jangan kedua shalat tersebut bersambung langsung. Secara tekstual larangan di atas bermakna diharamkan. Hadits ini tidaklah khusus untuk shalat jum’at saja karena perowi berupaya menunjukkan kekhususan hukum itu untuk shalat jama’ah dengan hadits yang bersifat umum mencakup shalat Jum’at dan shalat lainnya.”

Apa Hikmahnya?

Ada yang berpendapat bahwa hikmah melakukan seperti itu agar tidak terjadi keserupaan antara shalat wajib dan shalat sunnah. Ada pula yang berpendapat bahwa melanggar hal di atas merupakan sebab kebinasaan orang-orang terdahulu. Diriwayatkan dari salah seorang sahabat Nabi,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى الْعَصْرَ فَقَامَ رَجُلٌ يُصَلِّى فَرَآهُ عُمَرُ فَقَالَ لَهُ اجْلِسْ فَإِنَّمَا هَلَكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِصَلاَتِهِمْ فَصْلٌ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَحْسَنَ ابْنُ الْخَطَّابِ »

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Ashar, tiba-tiba bangkitlah seorang lelaki hendak shalat lagi. Umar melihatnya, dan langsung berkata, “Duduklah. Sesunguhnya Ahli

Kitab binasa karena mereka menyambungkan satu shalat dengan shalat yang lain
”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Sungguh baik apa yang diucapkan Al-Khaththab

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah menyatakan tentang hikmah larangan tersebut, “Karena dengan menyambungnya dengan shalat lain akan mengesankan seolah-olah shalat itu mengikuti shalat yang pertama, dan (larangan menyambung) ini, mencakup shalat Jum’at dan yang lainnya. Namun bila sudah dipisahkan dengan ucapan, atau dengan keluar dari tempat shalat tersebut, atau dengan mengucapkan istighfar, ataupun dzikir yang lain, itu berarti sudah melakukan pemisahan.”

Ash-Shan’ani rahimahullah mengungkapkan, “Para ulama telah menyatakan tentang dianjurkannya bagi seseorang untuk berpindah dari tempat melakukan ibadah wajib ke tempat lain untuk melakukan shalat sunnah, bahkan yang lebih utama lagi bila ia langsung melaksanakan shalat sunnah tadi di rumahnya. Karena melaksanakan ibadah sunnah di rumah itu lebih baik. Atau paling tidak ia laksanakan shalat sunnah di tempat lain di masjid tersebut. Itu berarti ia memperbanyak tempat pelaksanaan shalat”

Telah dikeluarkan oleh Abu Daud rahimahullah dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam),

أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ أَوْ عَنْ يَمِينِهِ أَوْ عَنْ شِمَالِهِ

Apakah salah seorang di antara kalian tidak mampu untuk sekedar maju, mundur, ke kiri atau ke kanan dalam shalatnya?” (maksudnya untuk shalat sunnah, pen)

Diriwayatkan dengan shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa pindah tempat itu disyariatkan dalam shalat sunnah dan shalat fardhu. Bila Ibnu ‘Umar berada di Mekkah lalu shalat Jum’at, terus beliau maju dan shalat dua raka’at, kemudian maju lagi dan shalat empat raka’at. Bila beliau berada di Madinah lalu shalat Jum’at, beliau kemudian pulang dan shalat di rumah dua raka’at, dan tidak shalat di masjid. Ada orang bertanya tentang hal itu. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Demikianlah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”Riwayat ini dapat dijadikan sebagai dalil penguat tentang dianjurkannya memperbanyak tempat sujud (shalat).

Kesimpulan

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kita harus memisah antara shalat wajib dan shalat sunnah, yaitu dengan perkataan (seperti dzikir) atau dengan berpindah tempat (di tempat lain di masjid atau di rumah). Di antara hikmah atau alasannya, yaitu:

(1) agar tidak serupa antara shalat wajib dan shalat sunnah, ada pembeda,

(2) untuk memperbanyak tempat sujud sehingga lebih banyak tempat di bumi ini yang menjadi saksi bagi amalan kita di hari kiamat kelak. Alasan kedua ini adalah pelajaran dari firman Allah,

إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا (1) وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا (2) وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا (3) يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا (4) بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا (5)

Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (menjadi begini)?", pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.” (QS. Az Zalzalah: 1-5). Lihatlah bumi menjadi saksi bagi amalan manusia di hari kiamat! Berarti ketika kita berpindah tempat, semakin banyaklah yang menjadi saksi kita nantinya.

Dan bahasan di atas sebenarnya umum untuk setiap shalat sunnah sebagaimana perbuatan Ibnu 'Umar. Namun shalat sunnah yang biasa menyertai shalat wajib adalah shalat sunnah rawatib, maka yang dibahas adalah shalat tersebut.

Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.
Lanjut Bacanya - MEMISAH SHALAT RAWATIB DAN SHALAT WAJIB

Jumat, 25 Maret 2011

ASURANSI DALAM ISLAM

ASURANSI DALAM ISLAMi
Abdul Hakim Mujaddidi, S.Ag
Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadibencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi.
Beberapa istilah asuransi yang digunakan antara lain:
A. Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda
B. Penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari Tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan
ASURANSI KONVENSIONAL
A. Ciri-ciri Asuransi konvensional Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional, diantaranya adalah:
  • Akad asurab si konvensianal adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua balah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah keawajiban tertanggung menbayar primi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi perietiwa yang diasuransikan.
  • Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
  • Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada eaktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
  • Akad asuransi ini adalah akad idz’an (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung,
B. Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam Mengingat masalah asuransi ini sudah memasyarakat di Indonesia dan diperkirakan ummat Islam banyak terlibat di dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari sudut pandang agama Islam.
Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah. Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Q. S. Hud: 6)
“……dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?……” (Q. S. An-Naml: 64)
“Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keprluan hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” (Q. S. Al-Hijr: 20)
Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya, termasuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah, bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolahnya, mencarinya dan mengikhtiarkannya.
Melibatkan diri ke dalam asuransi ini, adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak dijelaskan secara tegas dalam nash, maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi, yaitu masalah yang mungkin masih diperdebatkan dan tentunya perbedaan pendapat sukar dihindari.
Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
I. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa
Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth‘i (mufti Mesir”). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
  • Asuransi sama dengan judi
  • Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
  • Asuransi mengandung unsur riba/renten.
  • Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
  • Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
  • Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
  • Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.
II. Asuransi konvensional diperbolehkan
Pendapat kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syari‘ah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan:
  • Tidak ada nash (al-Qur‘an dan Sunnah) yang melarang asuransi.
  • Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
  • Saling menguntungkan kedua belah pihak.
  • Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
  • Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil)
  • Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta‘awuniyah).
  • Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
III. Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo).
Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh).
Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini, masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan, sehingga sukar untuk menentukan, yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar.
Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh, tentu jalan itulah yang pantas dilalui. Jalan alternatif baru yang ditawarkan, adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam.
Dalam keadaan begini, sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu (berpeganglah) kepada hal-hal yagn tidak meragukan kamu.” (HR. Ahmad)
Asuransi syariah
A. Prinsip-prinsip dasar asuransi syariah
Suatu asuransi diperbolehkan secara syar’i, jika tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
  • Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
  • Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
  • Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
  • Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
  • Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
  • Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
B. Ciri-ciri asuransi syari’ah Asuransi syariah memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah Sbb:
  • Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
  • Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
  • Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
  • Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
  • Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
C. Manfaat asuransi syariah. Berikut ini beberapa manfaat yang dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:
  • Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
  • Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg tolong menolong.
  • Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
  • Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.
  • Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
  • Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak pasti.
  • Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
  • Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).
Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.
A. Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah. Jika diamati dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya sbb:
  • Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.
  • Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota
  • Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)
  • Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.
B. Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal.
  • Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
  • Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
  • Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
  • Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
  • Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
  • Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut.
Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah yang telah kami paparkan di muka.
Selanjutnya, Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhut Al-Ilmiyah Wal Ifta [Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia] mengeluarkan fatwa sebagai berikut :
Asuransi ada dua macam. Majlis Hai’ah Kibaril Ulama telah mengkajinya sejak beberapa tahun yang lalu dan telah mengeluarkan keputusan. Tapi sebagian orang hanya melirik bagian yang dibolehkannya saja tanpa memperhatikan yang haramnya, atau menggunakan lisensi boleh untuk praktek yang haram sehingga masalahnya menjadi tidak jelas bagi sebagian orang.
Asuransi kerjasama (jaminan sosial) yang dibolehkan, seperti ; sekelompok orang membayarkan uang sejumlah tertentu untuk shadaqah atau membangun masjid atau membantu kaum fakir. Banyak orang yang mengambil istilah ini dan menjadikannya alasan untuk asuransi komersil. Ini kesalahan mereka dan pengelabuan terhadap manusia.
Contoh asuransi komersil : Seseorang mengasuransikan mobilnya atau barang lainnya yang merupakan barang import dengan biaya sekian dan sekian. Kadang tidak terjadi apa-apa sehingga uang yang telah dibayarkan itu diambil perusahaan asuransi begitu saja. Ini termasuk judi yang tercakup dalam firman Allah Ta’ala “Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan” [Al-Maidah : 90]
Kesimpulannya, bahwa asuransi kerjasama (jaminan bersama/jaminan social) adalah sejumlah uang tertentu yang dikumpulkan dan disumbangkan oleh sekelompok orang untuk kepentingan syar’i, seperti ; membantu kaum fakir, anak-anak yatim, pembangunan masjid dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Berikut ini kami cantumkan untuk para pembaca naskah fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhut Al-Ilmiyah wal Ifta (Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa) tentang asuransi kerjasama (jaminan bersama).
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, para keluarga dan sahabatnya, amma ba’du.
Telah dikeluarkan keputusan dari Ha’iah Kibaril Ulama tentang haramnya asuransi komersil dengan semua jenisnya karena mengandung madharat dan bahaya yang besar serta merupakan tindak memakan harta orang lain dengan cara perolehan yang batil, yang mana hal tersebut telah diharamkan oleh syariat yang suci dan dilarang keras.
Lain dari itu, Hai’ah Kibaril Ulama juga telah mengeluarkan keputusan tentang bolehnya jaminan kerjasama (asuransi kerjasama) yaitu terdiri dari sumbangan-sumbangan donatur dengan maksud membantu orang-orang yang membutuhkan dan tidak kembali kepada anggota (para donatur tersebut), tidak modal pokok dan tidak pula labanya, karena yang diharapkan anggota adalah pahala Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan, dan tidak mengharapkan timbal balik duniawi. Hal ini termasuk dalam cakupan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Ma'idah : 2]
Dan sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan Allah akan menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Adz-Dzikr wad Du'at wat Taubah 2699]
Ini sudah cukup jelas dan tidak ada yang samar.
Tapi akhir-akhir ini sebagian perusahaan menyamarkan kepada orang-orang dan memutar balikkan hakekat, yang mana mereka menamakan asuransi komersil yang haram dengan sebutan jaminan sosial yang dinisbatkan kepada fatwa yang membolehkannya dari Ha’iah Kibaril Ulama. Hal ini untuk memperdayai orang lain dan memajukan perusahaan mereka. Padahal Ha’iah Kibaril Ulama sama sekali terlepas dari praktek tersebut, karena keputusannya jelas-jelas membedakan antara asuransi komersil dan asuransi sosial (bantuan). Pengubahan nama itu sendiri tidak merubah hakekatnya.
Keterangan ini dikeluarkan dalam rangka memberikan penjelasan bagi orang-orang dan membongkar penyamaran serta mengungkap kebohongan dan kepura-puraan. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada seluruh keluarga dan para sahabat.
[Bayan Min Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta Haula At-Ta'min At-Tijari wat Ta'min At-Ta'awuni]“.
Kemudian, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin berpendapat sebagai berikut :
Asuransi konvensional tidak boleh hukumnya berdasarkan syari’at, dalilnya adalah firmanNya “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil” [Al-Baqarah : 188]
Dalam hal ini, perusahaan tersebut telah memakan harta-harta para pengasuransi (polis) tanpa cara yang haq, sebab (biasanya) salah seorang dari mereka membayar sejumlah uang per bulan dengan total yang bisa jadi mencapai puluhan ribu padahal selama sepanjang tahun, dia tidak begitu memerlukan servis namun meskipun begitu, hartanya tersebut tidak dikembalikan kepadanya.
Sebaliknya pula, sebagian mereka bisa jadi membayar dengan sedikit uang, lalu terjadi kecelakaan terhadap dirinya sehingga membebani perusahaan secara berkali-kali lipat dari jumlah uang yang telah dibayarnya tersebut. Dengan begitu, dia telah membebankan harta perusahaan tanpa cara yang haq.
Hal lainnya, mayoritas mereka yang telah membayar asuransi (fee) kepada perusahaan suka bertindak ceroboh (tidak berhati-hati terhadap keselamatan diri), mengendarai kendaraan secara penuh resiko dan bisa saja mengalami kecelakaan namun mereka cepat-cepat mengatakan, “Sesungguhnya perusahaan itu kuat (finansialnya), dan barangkali bisa membayar ganti rugi atas kecelakaan yang terjadi”. Tentunya hal ini berbahaya terhadap (kehidupan) para penduduk karena akan semakin banyaknya kecelakaan dan angka kematian.
[Al-Lu'lu'ul Makin Min Fatawa Ibn Jibrin, hal 190-191]“
Referensi: 1. Al-Quran AL-karim. 2. Al-fiqh al-Islamy wa adillatuhu, DR. Wahbah Azzuhaily. 3. Al-Islam wal manahij al-Islamiyah, Moh. Al Gozali. 4. Asuransi dalam hukum Islam, Dr. Husain Hamid Hisan. 5. Majalah al- buhuts al- Islamiyah, kumpulan ulama-ulama besar pada lembaga riset, Fatwa, dan dakwah. 6. Masail al-fiqhiyah, zakat, pajak, asuransi dan lembaga keuangan, M. Ali Hasan. 7. Halal dan haram, DR. Muhammad Yusuf al-Qordhowi. 8. Riba wa muamalat masrofiyah, DR. Umar bin Abdul Aziz al-Mutrik. 9. Riba wa adhroruhu ala al mujtama’, DR. Salim Segaf al-Djufri. 10. Masail diniyah keputusan musyawarah nasional Alim ulama NU, bandar lampung, 16-20 Rajab/ 25 januari 1992 M, 11.Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq
Lanjut Bacanya - ASURANSI DALAM ISLAM

Minggu, 06 Maret 2011

Visi dan Misi LPI




BAB IPENDAHULUAN
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan.
Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan negara.

Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab. Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekular.

Dalam budaya Barat sekuler, tingginya pendidikan seseorang tidak berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang pragmatis.

Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki paradigma yang pragmatis.
Dalam makalah ini penulis menerangkan visi misi dan tujuan lembaga pendidikan islam(LPI) agar supaya menambah wawasan tentang visi misi serta tujuan LPI.

BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian visi misi secara umum
Visi merupakan sesuatu yang didambakan untuk dimiliki dimasa depan (what do they want to have). Visi menggambarkan aspirasi masa depan tanpa menspesifikasi cara-cara untuk mencapainya, visi yang efektif adalah visi yang mampu membangkitkan inspirasi. Menurut Wibisono (2006, p. 43), visi merupakan rangkaian kalimat yang menyatakan cita-cita atau impian sebuah organisasi atau perusahaan yang ingin dicapai di masa depan. Atau dapat dikatakan bahwa visi merupakan pernyataan want to be dari organisasi atau perusahaan. Visi juga merupakan hal yang sangat krusial bagi perusahaan untuk menjamin kelestarian dan kesuksesan jangka panjang.

Dalam visi suatu organisasi terdapat juga nilai-nilai, aspirasi serta kebutuhan organisasi di masa depan seperti yang diungkapkan oleh Kotler yang dikutip oleh Nawawi (2000:122), Visi adalah pernyataan tentang tujuan organisasi yang diekspresikan dalam produk dan pelayanan yang ditawarkan, kebutuhan yang dapat ditanggulangi, kelompok masyarakat yang dilayani, nilai-nilai yang diperoleh serta aspirasi dan cita-cita masa depan. Visi yang efektif antara lain harus memiliki karakteristik seperti :
1.Imagible (dapat di bayangkan).
2. Desirable (menarik).
3. Feasible (realities dan dapat dicapai).
4. Focused (jelas).
5. Flexible (aspiratif dan responsif terhadap perubahan lingkungan).
6. Communicable (mudah dipahami).

Visi bagi organisasi atau perusahaan dapat digunakan sebagai:
1. Penyatuan tujuan, arah dan sasaran perusahaan
2. Dasar untuk pemanfaatan dan alokasi sumber daya serta pengendaliannya
3. Pembentuk dan pembangun budaya perusahaan (corporate culture)

Misi adalah bentuk yang didambakan di masa depan (what do they want to be). Misi merupakan sebuah pernyataan yang menegaskan visi lewat pilihan bentuk atau garis besar jalan yang akan diambil untuk sampai pada visi yang telah lebih dulu dirumuskan. Misi (mission) adalah apa sebabnya kita ada (why we exist / what we believe we can do).

Menurut Drucker (2000:87), Pada dasarnya misi merupakan alasan mendasar eksistensi suatu organisasi. Pernyataan misi organisasi, terutama di tingkat unit bisnis menentukan batas dan maksud aktivitas bisnis perusahaan. Jadi perumusan misi merupakan realisasi yang akan menjadikan suatu organisasi mampu menghasilkan produk dan jasa berkualitas yang memenuhi kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggannya (Prasetyo dan Benedicta, 2004:8)

Menurut Wheelen sebagaimana dikutip oleh Wibisono (2006, p. 46-47) Misi merupakan rangkaian kalimat yang menyatakan tujuan atau alasan eksistensi organisasi yang memuat apa yang disediakan oleh perusahaan kepada masyarakat, baik berupa produk ataupun jasa.Pernyataan misi merupakan sebuah kompas yang membantu untuk menemukan arah dan menunjukkan jalan yang tepat dalam rimba bisnis saat ini.

Tujuan dari pernyataan misi adalah mengkomunikasikan kepada stakeholder, di dalam maupun luar organisasi, tentang alasan pendirian perusahaan dan ke arah mana perusahaan kan menuju. Oleh karena itu, rangkaian kalimat dalam misi sebaiknya dinyatakan dalam satu bahasa dan komitmen yang dapat dimengerti dan dirasakan relevansinya oleh semua pihak yang terkait.

Langkah penyusunan misi yang umum dilakukan oleh organisasi atau perusahaan adalah dengan mengikuti tahap-tahap berikut ini:
1. Melakukan proses brainstorming dengan mensejajarkan beberapa kata yang menggambarkan organisasi
2. Penyusunan prioritas dan pemfokusan pada kata-kata yang paling penting
3. Mengkombinasikan kata-kata yang telah dipilih menjadi kalimat atau paragraf yang menggambarkan misi perusahaan
4. Mengedit kata-kata sampai terdengar benar atau sampai setiap orang kelelahan untuk adu argumentasi berkaitan dengan kata atau fase favorit mereka.

Untuk menjamin bahwa misi yang telah dicanangkan merupakan sebuah misi yang bagus, misi tersebut harus:
1. Cukup luas untuk dapat diterapkan selama beberapa tahun sejak saat ditetapkan
2. Cukup spesifik untuk mengkomunikasikan arah
3. Fokus pada kompetensi atau kemampuan yang dimiliki perusahaan
4. Bebas dari jargon dan kata-kata yang tidak bermakna.
B. Visi misi lembaga pendidikan islam (LPI)

Dari pengertian visi dan misi yang telah digambarkan diatas ialah penulis menghubungkan dengan visi misi lembaga pendidikan islam seperti contoh, visi misi diatas menggambarkan dengan sebuah organisasi atau perusahaan. Maka penulis juga mengadopsi kata kata atau mengislamkan kata-kata yang ada dalam pengertian visi misi yang telah dicantumkan diatas.

Jadi visi dan misi Lembaga Pendidikan menurut Islam ialah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu untuk membangun kehidupan manusia di dunia yang makmur, demokratis, adil, damai, taat hukum, dinamis, dan harmonis. Sehingga terciptalah kehidupan umat manusia yang di ridhoi oleh Allah SWT sebagaimana pada zaman kejayaan islam.

C. Tujuan Lembaga Pendidikan Islam (LPI)
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, ISTAC, 1993), merumuskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan orang yang baik (to produce a good man). Kata al-Attas, “The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab.” (hal. 150-151).

Berbicara tentang tujuan pendidikan, mau tidak mau mengajak kita berbicara tentang tujuan hidup. Sebab pendidikan memiliki tujuan untuk memelihara kehidupan manusia. Pendidikan merupakan suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Pendidikan Islam telah mengalami kemajuan di berbagai bidang terutama sarana dan prasarana. Lembaga-lembaga pendidikan Islam memiliki bangunan yang tak kalah megahnya dengan lembaga milik pemerintah maupun swasta yang lain. Namun dari sisi kwalitas, pendidikan Islam dirasa belum memenuhi keinginan umat. Sebab visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab terabaikan dalam institusi pendidikan.

Tujuan utama dari pendidikan Islam ialah mencapai ridla Allah. Dengan pendidikan diharapkan akan lahir individu-individu yang baik, bermoral, berkualitas sehingga bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, masyarakatnya, bangsanya serta umat manusia umumnya. Manusia adalah fokus utama dari pendidikan. Ia terdiri dari jasmani dan rohani. Karenanya institusi pendidikan seharusnya lebih memfokuskan perhatiannya kepada substansi kemanusiaan, membuat system yang mendukung kepada terbentuknya manusia yang baik. Pendidikan diharapkan mampu mengantarkan anak didik untuk memiliki kemakmuran materi dan juga individu yang memiliki kebahagiaan dunia dan akherat.

Tujuan pendidikan identik dengan gambaran manusia terbaik menurut orang-orang tertentu. Kualitas hidup seseorang ditentukan oleh pandangan hidupnya. Bila pandangan hidupnya berupa agama, maka manusia yang baik yang menjadi tujuan pendidikan adalah manusia yang baik menurut agamanya,

Dalam Al Qur’an Allah berfiman dalam Surat Al Baqarah ayat 1-5 :
“Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.”

Alif, Lam, miim, ayat yang cukup singkat, tetapi sangat dalam maknanya, hanya Allah yang tahu rahasianya. Sudah cukup lama para ulama al-Qur'an berbeda pendapat. Allahu A'lam, hanya Allah yang mengetahui, itulah jawaban yang dikemukakan oleh para ulama abad pertama hingga abad ketiga. Tampaknya jawaban Allabu A'lam yakni Allah lebih mengetahui masih diangap jawaban yang relevan sampai saat ini, meskipun demikian jawaban itu masih dianggap kurang memuaskan.

Pada ayat ini menggunakan isyarat jauh untuk menunjuk al-Qur'an. Semua ayat yang menunjuk kepada firman-firman Allah dengan nama al-Qur'an (bukan al-Kitab) yang mengarah pada isyarat dekat "hadzal Qur'an”. Penggunaan isyarat jauh ini bertujuan memberi kesan bahwa kitab suci ini berada dalam kedudukan tinggi dan sangat jauh dari jangkauan makhluk, karena ia bersumber dari Allah Yang Maha Tinggi Maha Bijaksana, sedang penggunaan kata "hadza ini" untuk menunjukkan betapa dekat tuntunan-tuntunannya pada fitrah manusia.

Dalam hal ini pula yang dimaksud dengan orang-orang bertakwa adalah orang yang mempersiapkan jiwa mereka untuk menerima petunjuk atau yang telah mendapatkannya tetapi masih mengharapkan kelebihan, karena petunjuk Allah tidak terbatas. Dari hal diatas dapat dipahami bahwa surah al-baqarah ayat 1-5 ini sangat dalam pesan moralnya, dimana kalaulah dikaitkan dengan tujuan pendidikan itu sendiri dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
a) Menambah ketaqwaan manusia pada Allah
b) Agar manusia mempercayai akan keberadaan Allah
c) Mewujudkan manusia yang banyak beramal shaleh
d) Mewujudkan manusia yang percaya akan hari akhir
e) Mewujudkan kesuksesan dalam hidup.
Dalam Quran Surat Al-Imran ayat 138-139 :


Artinya : “(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”

Pada ayat 138 dalam surah Ali Imran ini mengandung pesan-pesan yang sangat jelas, bahwa al-Qur’an secara keseluruhan adalah penerangan yang memberi keterangan dan menghilangkan kesangsian serta keraguan bagi manusia, atau dengan kata lain ayat ini memberikan informasi tentang keutamaan al-Qur'an yang mengungkap adanya hukum-hukum yang mengatur kehidupan masyarakat.
Kitab tersebut berfungsi mengubah masyarakat dan mengeluarkan anggotanya dari kegelapan menuju terang benderang dari kehidupan negative menuju kehidupan positif. Al-Qur'an memang adalah penerangan bagi seluruh manusia, petunjuk, serta peringatan bagi orang-orang yang bertaqwa.

Pernyataan Allah ini adalah penjelasan bagi manusia, juga mengandung makna bahwa Allah tidak menjatuhkan sanksi sebelum manusia mengetahui sanksi tersebut. Dia tidak menyiksa manusia secara mendadak, karena ini adalah petunjuk, lagi peringatan.
Pada ayat 139 ini membicarakan tentang kelompok pada perang uhud. Pada perang uhud mereka tidak meraih kemenangan bahkan menderita luka dan poembunuhan, dan dalam perang badar mereka dengan gemilang meraih kemenangan dan berhasil melawan dan membunuh sekian banyak lawan mereka, maka itu merupakan bagian dari sunnatullah. Namun demikian, apa yang mereka alami dalam perang uhud tidak perlu menjadikan mereka berputus asa. Karena itu, janganlah kamu melemah menghadapi musuhmu dan musuh Allah, kuatkan jasmanimu dan janganlah (pula) kamu bersedih akibat dari apa yang kamu alami dalam perang uhud, atau peristiwa lain yang seupa, kuatkanlah mentalmu.
Mengapa kamu lemah atau bersedih padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) di sisi Allah, di dunia dan di akherat. Di dunia kamu memperjuangkan agama Allah itulah sebuah kebenaran, di akherat kamu mendapatkan surga Allah. Ini jika kamu orang-orang mukmin, yakni benar-benar keimanan telah mantap dalam hatimu.

Bila kita kaitkan dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri dapat kita ketahui sebagai berikut :
a) Mewujudkan bimbingan pada manusia agar tidak binasa dengan hukum-hukum alam
b) Mewujudkan kebahagiaan pada hambanya
c) Menjadikan manusia yang intelek dan mempunyai derajat yang tinggi.

Al-Qur'an mengisyaratkan kedua nilai di atas dalam firman-Nya dalam surah Ali Imran, ayat 104 yang berbunyi :
Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”

Kaitannya dengan tujuan pendidikan sebagai berikut :
a) Mewujudkan seorang yang selalu menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran.
b) Mewujudkan manusia yang selalu bertawaqqal pada Allah.
Kaitannya dengan tujuan pendidikan sebagai berikut:
a) Mewujudkan seorang hamba yang shaleh
b) Mewujudkan akan keesaan Tuhan
c) Mewujudkan manusia yang ahli do’a
d) Menunjukkan akan luasnya ilmu Tuhan

Prof. Dr. Muhammad At Taumi dalam bukunya Falsafatut Tarbiyyah menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses pertumbuhan membentuk pengalaman dan perubahan yang dikehendaki dalam tingkah laku individu dan kelompok melalui interaksi dengan alam dan lingkungan kehidupan.

Sedangkan Prof. Dr. Athiyah Al Abrosyi dalam bukunya At Tarbiyyatul Islamiyyah menyatakan bahwa prinsip utama pendidikan Islam adalah pengembangan berfikir bebas dan mandiri secara demokratis dengan memperhatikan kecenderungan peserta didik secara individual yang menyangkut aspek kecerdasan akal dan bakat yang dititikberatkan pada pengembangan akhlak Orientasi dan arah kehidupan manusia menurut Al Qur’an adalah iman, ihsan dan takwa sebagai kualifikasi keislaman seseorang yang terpola dalam laku ibadah. Ini berarti bahwa pendidikan Islam adalah tindakan sadar diri secara sosial yang dilakukan secara terencana guna mengarahkan seluruh manusia kepada ilmu, ihsan dan takwa yang membentuk pola kelakuan ibadah.

Dalam Al Qur’an manusia menempati kedudukan yang istimewa di alam semesta ini. Dia adalah khalifatullah di muka bumi. Sebagai khalifah ia dilengkapi dengan potensi-potensi yang memungkinkan dirinya dapat melaksanakan tanggung jawabnya. Ada beberapa cirri yag diberikan oleh Allah sehingga membedakannya dengan makhluk yang lain. Ciri tersebut adalah : fitrah, ruh, kebebasan ( kemauan ) dan juga kemauan yang membuatnya dapat menentukan pilihan antara yang benar dan yang salah.
Dengan kelebihan yang dimilikinya itu menjadikan tujuan tertinggi dari pendidikan Islam adalah membina individu-individu yang akan bertindak sebagai khalifah. Fitrah manusia harus dikembangkan sebagai salah satu aspek utama tujan pendidikan dengan tidak mengesampingkan aspek yang lain seperti perkembangan spiritual (ruh), kebebasan kemauan, akal, dan juga perkembangan jasmani dan mental.

Salah satu aspek penting dan mendasar dalam pendidikan adalah aspek tujuan. Merumuskan tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefiniskan pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta dengan pertimbangan prinsip prinsip dasarnya. Hal tersebut disebabkan pendidikan adalah upaya yang paling utama, bahkan satu satunya untuk membentuk manusia menurut apa yang dikehendakinya. Karena itu menurut para ahli pendidikan, tujuan pendidikan pada hakekatnya merupakan rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun keinginan manusia.

Maka dari itu berdasarkan definisinya, Rupert C. Lodge dalam philosophy of education menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Sehingga dengan kata lain, kehidupan adalah pendidikan dan pendidikan adalah kehidupan itu. Sedangkan Joe Pack merumuskan pendidikan sebagai “the art or process of imparting or acquiring knomledge and habit through instructional as study”.

Dalam definisi ini tekanan kegiatan pendidikan diletakkan pada pengajaran (instruction), sedangkan segi kepribadian yang dibina adalah aspek kognitif dan kebiasaan. Theodore Meyer Greene mengajukan definisi pendidikan yang sangat umum. Menurutnya pendidikan adalah usaha manusia untuk menyiapkan dirinya untuk suatu kehidupan yang bermakna. Alfred North Whitehead menyusun definisi pendidikan yang menekankan segi ketrampilan menggunakan pengetahuan.

Untuk itu, pengertian pendidikan secara umum, yang kemudian dihubungkan dengan Islam -sebagai suatu sistem keagamaan- menimbulkan pengertian pengertian baru yang secara implisit menjelaskan karakteristik karakteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya, dalam konteks Islam inheren salam konotasi istilah “tarbiyah”, “ta’lim” dan “ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah istilah itu sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam; informal, formal, dan nonformal.

Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa. Dengan ini pula keutamaan itu akan merata dalam masyarakat.

Hujair AH. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi dan misi pendidikan Islam. Menurutnya sebenarnya pendidikan Islam telah memiki visi dan misi yang ideal, yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin”. Selain itu, sebenarnya konsep dasar filosofis pendidikan Islam lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup multi dimensional, yaitu pendidikan yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia, atau lebih khusus lagi sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kehidupan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam al Qur’an. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang ideal, sebab visi dan misinya adalah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu untuk membangun kehidupan dunia yang yang makmur, demokratis, adil, damai, taat hukum, dinamis, dan harmonis.

Munzir Hitami berpendapat bahwa tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan hidup manusia, biarpun dipengaruhi oleh berbagai budaya, pandangan hidup, atau keinginan-keinginan lainnya. Bila dilihat dari ayat-ayat al Qur’an ataupun hadits yang mengisyaratkan tujuan hidup manusia yang sekaligus menjadi tujuan pendidikan, terdapat beberapa macam tujuan, termasuk tujuan yang bersifat teleologik itu sebagai berbau mistik dan takhayul dapat dipahami karena mereka menganut konsep konsep ontologi positivistik yang mendasar kebenaran hanya kepada empiris sensual, yakni sesuatu yang teramati dan terukur.
Qodri Azizy menyebutkan batasan tentang definisi pendidikan agama Islam dalam dua hal, yaitu :
a) Mendidik peserta didik untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam;
b) Mendidik peserta didik untuk mempelajari materi ajaran Islam.
Sehingga pengertian pendidikan agama Islam merupakan usaha secara sadar dalam memberikan bimbingan kepada anak didik untuk berperilaku sesuai dengan ajaran Islam dan memberikan pelajaran dengan materi-materi tentang pengetahuan Islam.

BAB III
SIMPULAN
Dari pembahasan yang kami paparkan diatas maka dapat kami tarik simpulan sebagai berikut, visi dan misi Lembaga Pendidikan menurut Islam ialah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu untuk membangun kehidupan manusia di dunia yang berperadaban, makmur, demokratis, adil, damai, taat syariah , dinamis, dan harmonis. Sehingga terciptalah kehidupan umat manusia yang di ridhoi oleh Allah SWT sebagaimana pada zaman kejayaan islam.
Kemudian tujuan pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia menghambakan diri kepada Allah SWT yaitu dengan menjalankan semua perintahNya serta menjauhi apa-apa yang dilarangNya.
Semoga dengan segala daya serta kekuatan yang di berikan oleh Allah SWT kita dapat mengaplikasikan visi, misi dan tujuan Lembaga Pendidikan Islam dengan semaksimal-maksimalnya. Amin

DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Jakarta : Bulan Bintang.
Hitami, Munzir. 2004. Menggagas Kembali Pendidikan Islam. Yogyakarta: Infinite Press.
Haar. 2004. Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Nata, Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu.Tilaar,
Sanaky, Hujair AH. 2003. Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Indonesia.
Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI
Tafsir, Ahmad. 2001. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam., Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
http://mardoto.wordpress.com
www.hidayatullah.com
Lanjut Bacanya - Visi dan Misi LPI

Perempuan Dunia Pun Bisa Lebih Baik dari Bidadari Surga

   
ILUSTRASI. (foto: chinadaily.com.cn)

Surga adalah hak asasi atas muslim yang beriman dan beramal shalih. Surga dipersembahkan khusus bagi hambaNya yang taat, baik dari kaum pria maupun Wanita. Begitu pula dengan seorang wanita jika ia berniat untuk berhijrah menjadi seorang mukminah sejati. Perlombaan untuk menjadi lebih baik dibandingkan dengan makhluk Allah lainnya adalah hak asasinya sebagai seorang hamba. Dengan melihat karakteristik sang bidadari, seharusnyalah hal tersebut menjadi cermin bagi setiap wanita dunia. Bidadari adalah makhluk yang tercipta mirip dengan bangsamu, wahai wanita, tapi ketahuilah engkau bisa lebih baik dan lebih mulia darinya, Insya Allah. Ingatlah firman Allah dalam surat At-Tiin ayat 4, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya. "

Maka dari itu, berusahalah, berlombalah, dan bersegeralah dalam ketaatan kepada Allah SWT agar engkau lebih anggun daripadanya. Di antara jalan yang dapat ditempuh adalah MENJAGA KESUCIAN. Jagalah permatamu, wahai mukminah, janganlah kau umbar dan kau jual dengan harga yang murah, apalagi harga itu adalah harga duniawi yang kotor.

Milikilah rasa penuh cinta. Tumbuhkanlah cinta itu hanya kepada Allah serta mempersiapkan cintamu itu untuk seorang laki-laki yang akan menjadi suamimu atau telah sah menjadi suamimu. Janganlah terjerat dan terperangkap dengan rayuan gombal dan cinta buta, sebab hal itu hanya akan menggoreskan luka di hatimu.

Jagalah dan tundukkanlah pandanganmu, karena wanita dunia yang menyakiti suaminya dengan memandang pria lain (sekalipun terpaksa), merupakan wanita yang memiliki kekurangan dan kehinaan dalam dirinya. Maka pantaslah jika suaminya (yang shaleh) akan direbut oleh para bidadari surgawi. (Tito)

Referensi :
1. Ukhti Al-Muslimah Sabiiluki ilal Jannah. Karya Itisham Ahmad Sharraf,
Daar Al-I'tisham.
Lanjut Bacanya - Perempuan Dunia Pun Bisa Lebih Baik dari Bidadari Surga

Hukum Memajang Patung


Assalamualaikum.
Pak ustadz saya mau menanyakan hukum nya memajangkan patung ataupun action figure super hero di ruang tamu. Terima kasih atas penjelasannya pak.
Wassalam.

Assalamu alaikum wr.wb.
Pada dasarnya Islam mencintai keindahan. Karena itu tidak mengapa seorang muslim menghias rumahnya dengan berbagai dekorasi yang akan membuatnya tampak indah dan nyaman dipandang mata. Namun Islam juga memberikan batasan agar dekorasi dan perhiasan yang dipasang tidak berlebihan, tidak menjadi simbol kemewahan dan kesombongan, serta tidak merusak nilai-nilai tauhid.
Dari sini Islam melarang pemasangan atau pemajangan patung di dalam rumah. Keberadaan patung di dalam rumah menjadi sebab larinya malaikat dari rumah. Rasulullah saw bersabda, "Malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang berisi patung." (HR Bukhari dan Muslim).
Maksud malaikat di atas adalah malaikat pembawa rahmat; bukan malaikat maut dan malaikat pencatat amal. Para ulama berkata bahwa malaikat pembawa rahmat tidak masuk ke dalam rumah yang berisi patung lantaran pemiliknya menyerupai sikap orang kafir di mana mereka mengagungkan gambar dan patung tersebut.
Namun demikian, jika patung tersebut tidak diagungkan dan tidak dimaksudkan sebagai simbol kemewahan, maka sebagian ulama memperbolehkan. Misalnya adalah patung yang dijadikan mainan oleh anak-anak seperti boneka. Sayyidah Aisyah ra berkata, "Waktu itu saya bermain boneka di samping Rasulullah saw. Teman-temanku datang dengan sembunyi-sembunyi karena takut kepada beliau. Lalu beliau berbisik agar mereka datang. Maka, mereka pun datang untuk bermain bersamaku." (HR Bukhari dan Muslim).
al-Qadhi Iyadh berkata, "Bermain boneka bagi anak-anak perempuan mendapat keringanan hukum." Dalam hal ini yang semisal dengan permainan anak-anak itu adalah patung kue yang tidak lama kemudian dimakan. Demikian pandangan Yusuf al-Qardhawi.
Jadi, pada dasarnya patung secara umum dilarang untuk dibuat, perjual belikan, dan dipajang di rumah. Terkecuali yang berupa mainan atau boneka.
wallahu a'lam bish-shawab.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Lanjut Bacanya - Hukum Memajang Patung

Hukum Mendoakan Non Muslim






Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wr. wb. Saya mau bertanya kalau orang Muslim boleh mendoakan orang non-Muslim? Kalau ada teman atau saudara yang non-Muslim, dan dia sakit, bolehkah kita mendoakan supaya Allah memberikan kesehatan dan penyembuhan? Kalau memang boleh, apakah juga boleh mendoakan untuk semua perkara lain yang bersifat duniawi? Saya sudah cari informasi di internet, dan dapat penjelasan bahwa:
1. Tidak boleh didoakan kalau mereka sudah wafat.
2. Tidak boleh didoakan agar Allah mengampuni dosanya dan diharapkan mereka akan masuk sorga (dalam kondisi mereka masih hidup, ataupun sudah wafat).
3. Selain itu, tidak ada larangan untuk mendoakan mereka, alias hukumnya boleh (karena tidak ada dalil yang melarang). Jadi, boleh didoakan supaya sehat, dapat rezeki, dapat kemudahan dalam semua usahanya, menjadi orang pintar, sukses, dapat jodoh, dapat anak, dan sebagainya.
4. Doa yang paling baik dan tepat adalah mendoakan mereka agar Allah memberikan hidayah, tetapi doa umum yang bersifat duniawi masih boleh juga. Apakah itu sudah benar? Mohon penjelasannya kalau kurang tepat. Selanjutnya, kalau itu sudah benar, saya juga mau bertanya apakah juga boleh baca Al Fatihah atau baca Surah Yaasin untuk orang non-Muslim (supaya diberikan penyembuhan dari penyakit, kemudahan, dapat anak?) Kalau tidak boleh, atau kurang tepat, mohon jelaskan bedanya antara mendoakan saja dengan menggunakan kata-kata umum dan membaca Al Fatihah/Yaasin(sekaligus dengan doanya).
Terima kasih, Wassalamu'alaikum wr. wb.

Jawaban:
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Para ulama sepakat bahwa mendoakan non-muslim agar mereka mendapatkan ampunan, agar masuk ke dalam sorga, serta doa-doa lain yang bersifat ukhrawi adalah dilarang (Lihat QS at-Taubah: 114). Yang boleh adalah mendoakan agar mereka mendapatkan hidayah atau petunjuk sebagaimana hal ini dicontohkan oleh Rasul SAW. ketika berdoa agar salah satu dari dua Umar masuk ke dalam Islam serta memperjuangkan agama ini, dimana doa ini dikabulkan dengan masuk Islamnya Umar ibn al-Khattab ra. Juga doa beliau untuk ibunda Abu Hurayrah ra.
Sementara doa meminta kesembuhan, kesehatan, kelapangan, dan sebagainya juga diperbolehkan, apalagi jika dengan itu diharapkan mereka tertarik kepada Islam. Hal ini pernah dilakukan sahabat misalnya kepada pimpinan kaum yang terkena bisa ular. Sahabat tadi membacakan surat al-fatihah dan ternyata dengan ijin Alah SWT sembuh. Ini sekaligus menunjukkan bahwa membaca al-fatihah atau yang lainnya sebagai doa adalah boleh.
Wallahu a'lam bish-Shawab. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Lanjut Bacanya - Hukum Mendoakan Non Muslim

Sejarah Berkobarnya Perang Badar dan Kemenangan Kaum Muslim


Suatu ketika terdengarlah kabar di kalangan kaum muslimin Madinah bahwa Abu Sufyan beserta kafilah dagangnya, hendak berangkat pulang dari Syam menuju Mekkah.
Jalan mudah dan terdekat untuk perjalanan Syam menuju Mekkah harus melewati Madinah. Kesempatan berharga ini dimanfaatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat untuk merampas barang dagangan mereka. Harta mereka menjadi halal bagi kaum muslimin. Mengapa demikian? Bukankah harta dan darah orang kafir yang tidak bersalah itu haram hukumnya?
Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan harta Orang kafir Quraisy tersebut halal bagi para sahabat:
1. Orang-orang kafir Quraisy statusnya adalah kafir harbi, yaitu orang kafir yang secara terang-terangan memerangi kaum muslimin, mengusir kaum muslimin dari tanah kelahiran mereka di Mekah, dan melarang kaum muslimin untuk memanfaatkan harta mereka sendiri.
2. Tidak ada perjanjian damai antara kaum muslimin dan orang kafir Quraisy yang memerangi kaum muslimin.
Dengan alasan inilah, mereka berhak untuk menarik kembali harta yang telah mereka tinggal dan merampas harta orang musyrik.
Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat bersama tiga ratus sekian belas shahabat. Para ahli sejarah berbeda pendapat dalam menentukan jumlah pasukan kaum muslimin di perang badar. Ada yang mengatakan 313, 317, dan beberapa pendapat lainnya. Oleh karena itu, tidak selayaknya kita berlebih-lebihan dalam menyikapi angka ini, sehingga dijadikan sebagai angka idola atau angka keramat, semacam yang dilakukan oleh LDII yang menjadikan angka 313 sebagai angka keramat organisasi mereka dengan anggapan bahwa itu adalah jumlah pasukan Badar.
Di antara tiga ratus belasan pasukan itu, ada dua penunggang kuda dan 70 onta yang mereka tunggangi bergantian. 70 orang di kalangan Muhajirin dan sisanya dari Anshar.
Sementara di pihak lain, orang kafir Quraisy ketika mendengar kabar bahwa kafilah dagang Abu Sufyan meminta bantuan, dengan sekonyong-konyong mereka menyiapkan kekuatan mereka sebanyak 1000 personil, 600 baju besi, 100 kuda, dan 700 onta serta dengan persenjataan lengkap. Berangkat dengan penuh kesombongan dan pamer kekuatan di bawah pimpinan Abu Jahal.
Allah Berkehendak Lain
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para shahabat keluar dari Madinah dengan harapan dapat menghadang kafilah dagang Abu Sufyan. Merampas harta mereka sebagai ganti rugi terhadap harta yang ditinggalkan kaum muhajirin di Makah. Meskipun demikian, mereka merasa cemas bisa jadi yang mereka temui justru pasukan perang. Oleh karena itu, persenjataan yang dibawa para shahabat tidaklah selengkap persenjataan ketika perang. Namun, Allah berkehendak lain. Allah mentakdirkan agar pasukan tauhid yang kecil ini bertemu dengan pasukan kesyirikan. Allah hendak menunjukkan kehebatan agamanya, merendahkan kesyirikan. Allah gambarkan kisah mereka dalam firmanNya:
وَإِذْ يَعِدُكُمُ اللَّهُ إِحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ أَنَّهَا لَكُمْ وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيْرَ ذَاتِ الشَّوْكَةِ تَكُونُ لَكُمْ وَيُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُحِقَّ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَيَقْطَعَ دَابِرَ الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan senjata-lah yang untukmu (kamu hadapi, pent. Yaitu kafilah dagang), dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir.” (Qs. Al Anfal: 7)
Demikianlah gambaran orang shaleh. Harapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat tidak terwujud. Mereka menginginkan harta kafilah dagang, tetapi yang mereka dapatkan justru pasukan siap perang. Kenyataan ini memberikan pelajaran penting dalam masalah aqidah bahwa tidak semua yang dikehendaki orang shaleh selalu dikabulkan oleh Allah. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, tidak ada yang mampu mengendalikan keinginan Allah. Sehebat apapun keshalehan seseorang, setinggi apapun tingkat kiyai seseorang sama sekali tidak mampu mengubah apa yang Allah kehendaki.
Keangkuhan Pasukan Iblis
Ketika Abu Sufyan berhasil meloloskan diri dari kejaran pasukan kaum muslimin, dia langsung mengirimkan surat kepada pasukan Mekkah tentang kabar dirinya dan meminta agar pasukan Mekkah kembali pulang. Namun, dengan sombongnya, gembong komplotan pasukan kesyirikan enggan menerima tawaran ini. Dia justru mengatakan,
“Demi Allah, kita tidak akan kembali sampai kita tiba di Badar. Kita akan tinggal di sana tiga hari, menyembelih onta, pesta makan, minum khamr, mendengarkan dendang lagu biduwanita sampai masyarakat jazirah arab mengetahui kita dan senantiasa takut kepada kita…”
Keangkuhan mereka ini Allah gambarkan dalam FirmanNya,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَرًا وَرِئَاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَاللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan…” (Qs. Al-Anfal: 47)
Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu di bawah pengaturan Allah, karena ditutupi dengan kesombongan mereka. Mereka tidak sadar bahwa Allah kuasa membalik keadaan mereka. Itulah gambaran pasukan setan, sangat jauh dari kerendahan hati dan tawakal kepada Yang Kuasa.
Kesetiaan yang Tiada Tandingnya
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa yakin bahwa yang nantinya akan ditemui adalah pasukan perang dan bukan kafilah dagang, beliau mulai cemas dan khawatir terhadap keteguhan dan semangat shahabat. Beliau sadar bahwa pasukan yang akan beliau hadapi kekuatannya jauh lebih besar dari pada kekuatan pasukan yanng beliau pimpin. Oleh karena itu, tidak heran jika ada sebagian shahabat yang merasa berat dengan keberangkatan pasukan menuju Badar. Allah gambarkan kondisi mereka dalam firmanNya,
كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.” (Qs. Al Anfal: 5)
Sementara itu, para komandan pasukan Muhajirin, seperti Abu Bakr dan Umar bin Al Khattab sama sekali tidak mengendor, dan lebih baik maju terus. Namun, ini belum dianggap cukup oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau masih menginginkan bukti konkret kesetiaan dari shahabat yang lain. Akhirnya, untuk menghilangkan kecemasan itu, beliau berunding dengan para shahabat, meminta kepastian sikap mereka untuk menentukan dua pilihan: (1) tetap melanjutkan perang apapun  kondisinya, ataukah (2) kembali ke madinah.
Majulah Al Miqdad bin ‘Amr seraya berkata, “Wahai Rasulullah, majulah terus sesuai apa yang diperintahkan Allah kepada anda. Kami akan bersama anda. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa: ‘Pergi saja kamu, wahai Musa bersama Rab-mu (Allah) berperanglah kalian berdua, kami biar duduk menanti di sini saja. [1]‘” Kemudian Al Miqdad melanjutkan: “Tetapi pegilah anda bersama Rab anda (Allah), lalu berperanglah kalian berdua, dan kami akan ikut berperang bersama kalian berdua. Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, andai anda pergi membawa kami ke dasar sumur yang gelap, kamipun siap bertempur bersama engkau hingga engkau bisa mencapai tempat itu.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan komentar yang baik terhadap perkataan Al Miqdad dan mendo’akan kebaikan untuknya. Selanjutnya, majulah Sa’ad bin Muadz radhiyallahu ‘anhu, komandan pasukan kaum anshar.
Sa’ad mengatakan, “Kami telah beriman kepada Anda. Kami telah membenarkan Anda. Andaikan Anda bersama kami terhalang lautan lalu Anda terjun ke dalam lautan itu, kami pun akan terjun bersama Anda….” Sa’ad radhiyallahu ‘anhujuga mengatakan, “Boleh jadi Anda khawatir, jangan-jangan kaum Anshar tidak mau menolong Anda kecuali di perkampungan mereka (Madinah). Sesungguhnya aku berbicara dan memberi jawaban atas nama orang-orang anshar. Maka dari itu, majulah seperti yang Anda kehendaki….”
Di Sudut Malam yang Menyentuh Jiwa…
Pada malam itu, malam jum’at 17 Ramadhan 2 H, Nabi Allah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih banyak mendirikan shalat di dekat pepohonan. Sementara Allah menurunkan rasa kantuk kepada kaum muslimin sebagai penenang bagi mereka agar bisa beristirahat. Sedangkan kaum musyrikin di pihak lain dalam keadaan cemas. Allah menurunkan rasa takut kepada mereka. Adapun Beliau senantiasa memanjatkan do’a kepada Allah. Memohon pertolongan dan bantuan dari-Nya. Di antara do’a yang dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berulang-ulang adalah,
“…Ya Allah, jika Engkau berkehendak (orang kafir menang), Engkau tidak akan disembah. Ya Allah, jika pasukan yang kecil ini Engkau binasakan pada hari ini, Engkau tidak akan disembah…..”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulang do’a ini sampai selendang beliau tarjatuh karena lamanya berdo’a, kemudian datanglah Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu memakaikan selendang beliau yang terjatuh sambil memeluk beliau… “Cukup-cukup, wahai Rasulullah…”
Tentang kisah ini, diabadikan Allah dalam FirmanNya,
إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آَمَنُوا سَأُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ فَاضْرِبُوا فَوْقَ الْأَعْنَاقِ وَاضْرِبُوا مِنْهُمْ كُلَّ بَنَانٍ (12) ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ شَاقُّوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَمَنْ يُشَاقِقِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (13)
“Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman”. Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya.” (Qs. Al Anfal: 12-13)
Bukti kemukjizatan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
Seusai beliau menyiapkan barisan pasukan shahabatnya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan di tempat pertempuran dua pasukan. Kemudian beliau berisyarat, “Ini tempat terbunuhnya fulan, itu tempat matinya fulan, sana tempat terbunuhnya fulan….”
Tidak satupun orang kafir yang beliau sebut namanya, kecuali meninggal tepat di tempat yang diisyaratkan beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bara Peperangan Mulai Menyala
Yang pertama kali menyulut peperangan adalah Al Aswad Al Makhzumi, seorang yang berperangai kasar dan akhlaknya buruk. Dia keluar dari barisan orang kafir sambil menantang. Kedatangannya langsung disambut oleh Hamzah bin Abdul Muthallib radhiyallahu ‘anhu. Setelah saling berhadapan, Hamzah radhiyallahu ‘anhu langsung menyabet pedangnya hingga kaki Al Aswad Al Makhzumi putus. Setelah itu, Al Aswad merangkak ke kolam dan tercebur di dalamnya. Kemudian Hamzah menyabetkan sekali lagi ketika dia berada di dalam kolam. Inilah korban Badar pertama kali yang menyulut peperangan.
Selanjutnya, muncul tiga penunggang kuda handal dari kaum Musyrikin. Ketiganya berasal dari satu keluarga. Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin Rabi’ah, dan anaknya Al Walid bin Utbah. Kedatangan mereka ditanggapi 3 pemuda Anshar, yaitu Auf bin Harits, Mu’awwidz bin Harits, dan Abdullah bin Rawahah. Namun, ketiga orang kafir tersebut menolak adu tanding dengan tiga orang Anshar dan mereka meminta orang terpandang di kalangan Muhajirin. Kemudian Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ali, Hamzah, dan Ubaidah bin Harits untuk maju. Ubaidah berhadapan dengan Al Walid, Ali berhadapan dengan Syaibah, dan Hamzah berhadapan dengan Utbah. Bagi Ali dan Hamzah, menghadapi musuhnya tidak ada kesulitan. Lain halnya dengan Ubaidah. Masing-masing saling melancarkan serangan, hingga masing-masing terluka. Kemudian lawan Ubaidah dibunuh oleh Ali radhiyallahu ‘anhu. Atas peritiwa ini, Allah abadikan dalam firmanNya,
هَذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ
“Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Rabb mereka (Allah)…” (Qs. Al Hajj: 19)
Selanjutnya, bertemulah dua pasukan. Pertempuran-pun terjadi antara pembela Tauhid dan pembela syirik. Mereka berperang karena perbedaan prinsip beragama, bukan karena rebutan dunia. Sementara itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tenda beliau, memberikan komando terhadap pasukan. Abu Bakar dan Sa’ad bin Muadz radhiyallahu ‘anhuma bertugas menjaga beliau. Tidak pernah putus, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melantunkan do’a dan memohon bantuan dan pertolongan kepada Allah. Terkadang beliau keluar tenda dan mengatakan, “Pasukan (Quraisy) akan dikalahkan dan ditekuk mundur…”
Beliau juga senantiasa memberi motivasi kepada para shahabat untuk berjuang. Beliau bersabda, “Demi Allah, tidaklah seseorang memerangi mereka pada hari ini, kemudian dia terbunuh dengan sabar dan mengharap pahala serta terus maju dan pantang mundur, pasti Allah akan memasukkannya ke dalam surga.”
Tiba-tiba berdirilah Umair bin Al Himam Al Anshari sambil membawa beberapa kurma untuk dimakan, beliau bertanya,“Wahai Rasulullah, apakah surga lebarnya selebar langit dan bumi?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,“Ya.” Kemudian Umair mengatakan: “Bakh…Bakh… (ungkapan kaget). Wahai Rasulullah, antara diriku dan aku masuk surga adalah ketika mereka membunuhku. Demi Allah, andaikan saya hidup harus makan kurma dulu, sungguh ini adalah usia yang terlalu panjang. Kemudian beliau melemparkan kurmanya, dan terjun ke medan perang sampai terbunuh.”
Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil segenggam pasir dan melemparkannya ke barisan musuh. Sehingga tidak ada satu pun orang kafir kecuali matanya penuh dengan pasir. Mereka pun sibuk dengan matanya sendiri-sendiri, sebagai tanda kemukjizatan Beliau atas kehendak Dzat Penguasa alam semesta.
Kuatnya Pengaruh Teman Dekat Dalam Hidup
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh Abul Bakhtari. Karena ketika di Mekkah, dia sering melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang memiliki inisiatif untuk menggugurkan boikot pada Bani Hasyim. Suatu ketika Al Mujadzar bin Ziyad bertemu dengannya di tengah pertempuran. Ketika, itu Abul Bakhtari bersama rekannya. Maka, Al Mujadzar mengatakan, “Wahai Abul Bakhtari, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk membunuhmu.”
“Lalu bagaimana dengan temanku ini?”, tanya Abul Bakhtari
“Demi Allah, kami tidak akan membiarkan temanmu.” Jawab Al Mujadzar.
Akhirnya mereka berdua melancarkan serangan, sehingga dengan terpaksa Al Mujadzar membunuh Abul Bakhtari.
Kemenangan Bagi Kaum Muslimin
Singkat cerita, pasukan musyrikin terkalahkan dan terpukul mundur. Pasukan kaum muslimin berhasil membunuh dan menangkap beberapa orang di antara mereka. Ada tujuh puluh orang kafir terbunuh dan tujuh puluh yang dijadikan tawanan. Di antara 70 yang terbunuh ada 24 pemimpin kaum Musyrikin Quraisy yang diseret dan dimasukkan ke dalam lubang-lubang di Badar. Termasuk diantara 24 orang tersebut adalah Abu Jahal, Syaibah bin Rabi’ah, Utbah bin Rabi’ah dan anaknya, Al Walid bin Utbah.
Demikianlah perang badar, pasukan kecil mampu mengalahkan pasukan yang lebih besar dengan izin Allah. Allah berfirman,
كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“…Betapa banyak golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al Baqarah: 249)
Mereka…
Mereka menang bukan karena kekuatan senjata
Mereka menang bukan karena kekuatan jumlah personilnya
Mereka MENANG karena berperang dalam rangka menegakkan kalimat Allah dan membela agamaNya…
Lanjut Bacanya - Sejarah Berkobarnya Perang Badar dan Kemenangan Kaum Muslim